For smartphone users certainly never use Google Maps. With the ability to be improved, made by Google's mapping application that can display the location information in detail. But you know how Google can get the data complete as that? Google Maps should be recognized is a mapping application that has a fairly complete navigation features, and can display images with accurate location details. Even companies such as Apple still has not been able to match the power of Google Maps. To be able to present it all, of course, Google had to work hard to get those data. And certainly, this service requires the input of data that is very, very much to be able to display data that is accurate and detailed. Google rely on multiple sources of data to be able to run Google Maps. As of Street View cars, imaging of the tower B.T.S, government data, and input from a wide range of users from around the world. After obtaining all the data, Google then set it by using a tool of their creation, called Atlas. This tool is very dirahasikan Google, and should only be used internally. However, in the event Google I / O 2013 last May, Google kindly to uncover a little 'secret kitchen' them, by showing the process of making Google Maps. In the 40-minute video that was recorded during the event for developers conference, Google explained how the data processing using the Atlas, until you can see the end result as in Google Maps. In fact, Google Map does not use satellites as it is known to many people, because with 8 towers pliers spread across all continents proved equally effective for imaging support my location. In addition, Google Maps also uses drones to project your roof to a map. The following is a picture that often operated drone google:
alwan hardianto
Friday, January 27, 2017
Google Map Does Not Use A Satellites
Sunday, January 22, 2017
Thursday, October 6, 2016
LIRIK TAKDIR - Ian Antono AA
*
orang bilang kau nekad
orang bilang kau jahat
karena milik sesama
kau sikat tanpa sisa
**
orang bilang kau salah
orang bilang kau dosa
namun engkau abaikan
seolah kau tak mendengar
tak kenal kata salah
tak kenal kata dosa
***
orang bilang kau nekad
orang bilang kau jahat
karena milik sesama
kau sikat tanpa sisa
**
orang bilang kau salah
orang bilang kau dosa
namun engkau abaikan
seolah kau tak mendengar
tak kenal kata salah
tak kenal kata dosa
***
gejolak jiwa
datang kapan saja
Pada siapa saja
sering tak terduga
jalani hidup
mesti segalanya
tak seindah mimpi
yang menghias tidurmu
pesona dunia
tinggalkan luka
karena tak kuasa
menggapainya
yakinlah takdir
tak mudah dihindari
walau harus terhina
walau harus tercela
datang kapan saja
Pada siapa saja
sering tak terduga
jalani hidup
mesti segalanya
tak seindah mimpi
yang menghias tidurmu
pesona dunia
tinggalkan luka
karena tak kuasa
menggapainya
yakinlah takdir
tak mudah dihindari
walau harus terhina
walau harus tercela
walau bertaruh nyawa
INTRO...
BACK TO: **,***
Untuk mp3 nya waiting ya...😁😁😆😆😅
Wednesday, July 13, 2016
SURAT PERSETUJUAN PERATURAN KOST
SURAT
PERSETUJUAN PERATURAN KOST “ITA-ITU”
Jl.
Walanda Maramis, RT 02 / RW 23 Mbibis Baru
Nusukan,
Banjarsari, Surakarta
Untuk menjaga stabilitas keamanan dan keharmonisan
antara masyarakat dengan Kost “Ita-Itu”, diadakan peraturan antara lain sebagai
berikut:
1. Mempunyai
Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku dan menyerahkan foto copy Kartu
Tanda Penduduk (KTP) 1 lembar per orang kepada pengelola Kos.
2. Jumlah
anggota maksimal dalam tiap kamar adalah 1 orang.
3. Mampu
menjaga keharmonisan hubungan antar penghuni kost dan masyarakat. Tidak
diperkenankan saling mengganggu sesama penghuni kamar, seperti menyalakan
radio/tape/pesawat TV terlalu keras, membuat kebisingan (berteriak atau besuara
keras pada malam hari) dan kegaduhan.
4. Mampu
menjaga keutuhan kamar kost (tidak diperkenankan membuat perubahan kamar tanpa
seijin pengelola termasuk mencoret-coret
tembok), serta ikut menjaga keamanan, kebersihan dan kenyamanan rumah kost.
5. Tidak
menyimpan senjata api/bahan peledak dan tidak menyimpan/mengkonsumsi narkoba
& minuman keras.
6. Dilarang
melakukan perbuatan yg melanggar hukum (perjudian, dsb) dan norma-norma
kesusilaan.
7. Dilarang
membuang pembalut wanita dan sisa makanan kedalam toilet agar tidak buntu.
8. Dilarang
membawa atau memelihara hewan seperti anjing, kucing, ayam, hamster, ular dsb. Serta membakar ikan yang asap dan baunya
dapat mengganggu penghuni lainnya dilingkungan rumah kost.
9. Menerima
tamu lawan jenis pada malam hari maksimal sampai jam 22.00 WIB (untuk menjaga
ketenangan rumah kost). Tamu penghuni kost yang menginap satu malam atau lebih,
harap segera melaporkannya ke pengelola kost.
10. Pembayaran
uang sewa kost harus dilakukan tepat waktu. Keterlambatan pembayaran uang kost
tanpa pemberitahuan sebelumnya dan tidak mematuhi tata tertib, diartikan bahwa
penghuni kost telah memutuskan untuk keluar/pindah kost.
|
|||||||||||
tertanda | |||||||||||
|
|||||||||||
|
Monday, September 21, 2015
“PERADABAN ETNIS CINA DI PACITAN” (Sejarah Sosial 1910-1915)
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Sebagian orang berpendapat asal nama
Kabupaten Pacitan berasal dari kata Pacitan yang berarti camilan,
sedap-sedapan, tambul, yaitu makanan kecil yang tidak sampai mengenyangkan. Hal
ini disebabkan daerah Pacitan merupakan daerah minus, sehingga untuk memenuhi
kebutuhan pangan warganya tidak sampai mengenyangkan; tidak cukup (pada masa
pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) nama tersebut telah muncul dalam babat
Momana).[1]Secara
geografis Kabupaten Pacitan terletak di Pantai Selatan Pulau Jawa dan
berbatasan dengan Propinsi Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta merupakan
pintu gerbang bagian barat dari Jawa Timur dengan kondisi fisik pegunungan
kapur selatan yang membujur dari gunung kidul ke Kabupaten Trenggalek menghadap
ke Samudera Indonesia.
Kabupaten Pacitan mempunyai luas wilayah
1.389,87 Km2 atau 138.987,16 Ha yang kondisi alamnya sebagian besar terdiri
dari bukit-bukit yang mengelilingi kabupaten. Sedangkan wilayah kota Pacitan
yang merupakan inti atau pusat pemerintahan berupa dataran rendah.[2]
Selebihnya berupa daerah pantai yang memanjang dari sebelah barat sampai timur
di bagian selatan. Pacitan adalah kecamatan yang menjadi ibukota Kabupaten
Pacitan, provinsi Jawa Timur, Indonesia. Kota Pacitan adalah denyut nadi
pemerintahan dan perekonomian kabupaten pacitan secara keseluruhan. Lansekap
kota Pacitan terletak di lembah, di tepi Teluk Pacitan dan dialiri sungai
Grindulu yang membentang dari wilayah selatan menuju pantai Teleng Ria. Pacitan
merupakan kota penghubung antara Surabaya dan Yogyakarta yang melalui jalur
alternatif yang lebih dekat daripada melewati rute Wonogiri ataupun Solo.
Sebagai jalur lintas yang kecil, namun banyak sekali yang melewati wilayah
pacitan menuju Yogyakarta. Kota kecil ini memiliki bebagai macam penduduk,
antara lain dari wilayah Kalimantan, Sulawesi, Papua, bahkan yang tak
ketinggalan pendatang dari mancanegara, yaitu orang-orang dari negeri Cina. Namun
pada makalah ini hanya membahas tentang peradaban masyarakat Cina saja yang
pada ssat itu berdomisili di Pacitan. Penulismengambil kurun waktu antara tahun
1910-1915 karena pada saat itulah terjadi peristiwa yang sangat menarik dari
kedua penduduk antara masyarakat pribumi dengan Cina.Dalam proses ini terjadi
kontak kultural antara masyarakat pribumi dengan Cina.
Makalah ini merupakan sejarah sosial,
namun konsep sejarah sosial sendiri sukar untuk dirumuskan dan tidak akan
pernah dicapai hasil akhirmengenai perumusannya secara tepat [3]. Dalam
makalah ini kategori kedua tentang sejarah lokal, yaitu sejarah kelompok
penduduk. yang mempelajari tentang proses penyesuaian beberapa kelompok
penduduk pribumi dengan Cina. Sejarah lokal merupakan studi tentang kehgidupan
masyarakat atau khususnya komunitas dari suatu lingkungan sekitar
(neighborhood) tertentu dalam dinamika perkembangan dalam berbagai aspek
kehidupan namun, sejarah lokal juga memiliki hubungan dengan sejarah nasional.[4]Dalam
makalah ini perhatian utama ditujukan pada pergerakan sosial masyarakat
pribumi. Dimana masyarakat pribumi melakukan gerakan yang menentang adanya
masyarakat Cina di wilayah Pacitan. Hal ini terjadi pada masa kolonialis, namun
bangsa belanda pada waktu itu tidak begitu banyak yang memasuki wilayah
Pacitan, hanya berapa orang saja yang melewati jalur menuju madiun karena
Belanda menilai Pacitan tidak memiliki banyak sumber daya yang bisa
dimanfaatkan untuk keperluan mereka.
B. Rumusan
masalah
1. Bagaimanakah
awal masuknya orang Cina di Pacitan?
2. Bagaimanakah
tanggapan orang pribumi terhadap masuknya masyarakat Cina di Pacitan?
3. Bagaimanakah
peradaban masyarakat Cina di Pacitan?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Masuknya
orang Cina di Pacitan
Kota Pacitan adalah sebuah kota yang berada
di pulau jawa. Pacitan adalah sebuah kota yang berada di karesidenan madiun
pada abad ke XV di pacitan telah berkembang agama hindu dan Budha yang
berkiblat kepada Kerajaaan Majapahit yang dipimpin oleh ki ageng buwono keling
yang bertempat tinggal di Jati Kecamatan Kebonagung (Drs. Ronggosaputro;1980).[5]Dan
ketika dalam perang gerilya 1747-1749 (Perang Palihan Nagari 1746-1755)melawan
VOC Belanda, Pangeran Mangkubumi mengalami kekalahan, beliau disertai 12 orang
pengikutnya terus mundur keselatan sambil mencari dukungan orang sakti untuk
membantu perjuangan. Tanggal 25 Desember 1749 rombongan tersebut lemah lunglai,
dan atas bantuan setroketipo beliau diberi sebuah minuman yaitu buah pace yang
telah direndam dengan legen buah kelapa, dan seketika itu juga kekuatan
Pangeran Mangkubumi pulih kembali. Daerah itu diingat dengan pace sapengetan
dan dalam pembicaraan keseharian sering disingkat dengan pace-tan lalu
menjadilah sebuah nama kabupaten Pacitan. Setelah Pangeran Mangkubumi menjadi
Hamenku Buwono I, beliau memenuhi janjinya kepada para pengikutnya yang ketika
itu ikut bergerilya. Setroketipo diangkat menjadi Bupati Pacitan ke-2 setelah
sebelumnya dijabat oleh Raden Ngabehi Tumenggung Notoprojo. Raden Ngabehi Tumenggung Notoprojo sebelumnya
diangkat juga oleh Pangeran Mangkubumi
pada tanggal 17 Januari 1750 setelah beliau banyak membantu Pangeran Mangkubumi
ketika bergerilya didaerah pacitan. Ketika itu Ngabehi Suromarto menjabat
demang Nanggungan dan ketika diangkat bupati bergelar Raden Ngabehi Tumenggung
Notoprojo[6]. Slanjutnya
padahub 1906 pemerintahan di pimpin oleh R.Adipati Harjo Tjokronegoro I (R.T.
Cokrohadijoyo).[7]Kemudian
pada sekitar tahun 1909 ada seorang yang bermigrasi dari negeri Cina yang
bernama Kwee Hing Tjiat. Pada masa ini Pacitan dipimpin oleh Tumenggung R.Adipati
Martohadinegoro (Raden Mas Cokrodipuro). Beliau termasuk keturunan Raden
Ngabehi Tumenggung Notoprojo.Menurut Carey, masyarakat Tionghoa di Jawa sudah
datang jauh sebelum Belanda datang ke Indonesia.[8]Mereka
menemukan Indonesia sekitar tahun 1421 dalam pelayaraannya menjelajah dunia,
namun Cina berlabuh di Indonesia hanya mencari temuan daratan atau pulau.[9]Akan
tetapi, segala sesuatu tentang masyarakat Cina di Indonesia khususnya di Jawa
dan juga di beberapa daerah lain yang kita kenal sekarang ini, bentuk perilaku
dan seterusnya, berasal dari zaman kolonial, dari zaman Hindia Belanda. Kedua
bangsa tersebut (Cina dan Belanda) sebenarnya datang ke Indonesia sama-sama
untuk berniaga. Belanda dalam bentuk VOC datang untuk melakukan perniagaan, dan
orang-orang Cina datang ke Indonesia juga untuk melakukan perniagaan.Sebenarnya
keduanya berasal dari suatu peradaban yang kira-kira sama. Baik Belanda maupun
Cina datang dari latar belakang kota yang dikelilingi “dinding”. Pertanyaan ini
memang aneh kedengarannya, namun itulah realitanya. Karena berbagi hal dan
insiden, sejak permulaan, orang-orang Cina ini menjadi mitra niaga Belanda.
Pada awalnya, Belanda datang ke
Indonesia tidak secara besar-besaran. Oleh karena itu, kekuatan asing itu
selalu memerlukan mitra-mitra niaga. Cina menjadi mitra niaga Belanda,
khususnya di bidang distribusi, tidak di bidang perniagaan perantara. Itulah
sebabnya orang-orang Cina menguasai perniagaan perantara. Dari kegiatannya mendistribusikan
barang-barang dari kota ke penduduk-penduduk pribumi di desa, orang Cina
mendapat uang tembaga dari orang-orang di desa, yaitu uang kecil yang biasa
untuk membeli barang-barang di desa. Kemudian mereka menjualnya ke VOC di kota.
inilah yang mempererat hubungan orang-orang Cina dengan orang-orang Belanda[10].Selain
itu, bahwa yang harus diingat kalau kita bicara mengenai orang Cina adalah
bahwa orang Cina ini bukan suatu golongan yang homogen atau sama semuanya.
Golongan Cina sudah sejak lama dimamfaatkan
sebagai “perantara” sekaligus “mesin pencetak uang” baik oleh raja-raja maupun
oleh penguasa kolonial di Indonesia. Sebelum masuknya kolonial pun, orang Cina
sudah menjadi bagian penting di dalam kerajaan-kerajaan Jawa. Sejak abad-abad
awal Masehi sudah terdapat hubungan perdagangan antara negeri Cina dan Jawa.
Bahkan di abad ke-14, pada masa puncak kejayaan Kerajaan Majapahit di Jawa
timur, orang Jawa dari golongan atas telah terbiasa dengan barang-barang mewah
yang diimpor dari Cina seperti sutera, porselen dan sampan (pernis). Selain
itu, bangsa Cina pun telah melangsungkan sejumlah perkawinan dengan penduduk
setempat dan kebanyakan orang-orang Cina yang melakukan perkawinan yang
demikian akhirnya memeluk agama Islam. Orang Cina pada abad-abad selanjutnya
terus memainkan peranan yang amat penting di dalam kehidupan ekonomi dan sosial
di pedalaman kerajaan-kerajaan Jawa. Misalnya di kerajaan Mataram pada abad 17,
orang Cina berhasil menguasai posisi kunci perdagangan ekspor beras dan kayu
jati, yang kemudian kerajaan Mataram mempergunakan orang-orang Cina ini dalam
memperoleh kekuasaan yang kuat dengan menjadikan mereka sebagai dalal beras
untuk mengatur penjualan ekspornya di Batavia. Namun situasi seperti ini
berbalik total karena keterlibatan orang Cina dalam persoalan ekonomi
sehari-hari rakyat Jawa seperti penarikan pajak gerbang tol dan penjualan
candu. Mereka dituduh sebagai kambing hitam atas kemiskinan rakyat. Ditambah
dengan peristiwa-peristiwa berdarah yang terjadi membuat trauma pada orang-orang
Cina, sehingga suatu perasaan kecurigaan yang mendalam tentang maksud dan
tujuan-tujuan orang-orang jawa merupakan warisan yang kekal dari periode ini.[11]
Sesungguhnya, baik VOC maupun para
penguasa Jawa membutuhkan orang-orang Cina dalam kegiatan yang mereka lakukan
di bidang perdagangan, yang tercermin dalam kedudukan administrasi dan hukum
istimewa yang diberikan kepada mereka. Kedudukan administrasi disini ditunjuk
sebagai syahbandar (mandor tol dan bea cukai) khusus untuk komunitas pedagang
Cina dan hukum istimewa disini tercermin pada hukum tradisional orang Jawa yang
menetapkan bahwa denda yang dijatuhkan atas pembunuhan orang Cina haruslah dua
kali lebih besar dibandingkan membunuh satu orang Jawa. Berawal dari itu maka
seorang tokoh dari cina yang hendak melakukan perniagaan ke daerah Yogyakarta
berhenti di kota Pacitan, tokoh tersebut adalah Kwee Hing Tjiat, beliau
merupakan salah satu dari 8 tokoh Tionghoa yang paling historis dalam bidang
hukum, jurnalistik, sastera dan keagamaan yang besar artikulasinya dalam
menyuarakan nasionalisme Indonesia.[12]Selain
itu, Kwee Hing Tjiat juga dikenal sebagai seorang nasionalis Cina dan tokoh
asimilasi.Kwee Hing Tjiat merupakan peranakan Cina yang yang telah lama menetap
di indonesia. Peranakan adalah orang Cina yang sudah lama tinggal di Indonesia
dan sudah “terbaur”. Mereka berbahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari dan
bertingkahlaku seperti pribumi.[13]
Awalnya, Kwee Hing Tjiat ingin melakukan kegiatan perniagaan menuju ke
Yogyakarta, namun dia tertarik untuk tinggal dan menetap di Pacitan. Alasan
utamanya tidak begitu jelas namun, menurut beberapa sumber yang mengatakan
bahwa Kwee Hing Tjiat tinggal di Pacitan dengan satu tujuan yaitu menguasai
perdagangan. Seagaimana layaknya masyarakat jawa jika memiliki tamu, terlebih
tamu dari mancanegara, pasti akan di sambut dengan amat baik.
B. Proses
interaksi masyarakat pribumi dangan orang Cina
Ada berbagai pengaruh dari pola
imigrasi. Umpamanya Cina berimigrasi ke Pulau Jawa, Cinanya datang secara
perorangan atau dalam kelompok-kelompok kecil. Oleh karena itu, interaksi
dengan penduduk yang padat sekali, sedikit banyak terintegrasi di dalam
masyarakat. Di Jawa, orang Cina biasanya tidak merasa Cina. Mereka kehilangan
bahasa setelah satu dua generasi, seperti orang Jawa yang di Jakarta yang juga
kehilangan bahasa Jawanya setelah satu dua generasi.Pada hakekatnya bahasa
mempunyai fungsi sosial yang oleh halliday dinamakan “metafungsi”.[14]Makna
fungsi itu sendiri kurang lebih sama dengan pengertian penggunaan. Jadi fungsi
bahasa didalam masyarakat sama dengan bagaimana masyarakat mengerjakan
aktivitasnya sama dengan menggunakan bahasa. Apa yang mereka inginkan dengan
berbicara, menulis, mendengarkan atau membaca; apa yang mereka harapkan dari
orang lain dengan dengan menggunakan bahasa tersebut. Jadi dapat disimpulkan
bahwa bahasa sangat sangat besar pengaruhnya bagi interaksi antar manusia.
Fenomena Jawa tersebut sangat biasa kita
jumpai saat ini, biasanya orang Jawa akan menyebutnya “Jowo tapi ora Jawani”. Biarpun kedua orang tuanya Jawa. Jadi,
lingkungan ikut menentukan Di Sumatra Utara, misalnya di sekitar Medan, etnis
Cina didatangkan per-komunitas seperti bedol desa dari Cina, dari
kelompok-kelompok yang besar interaksi mereka dengan penduduk setempat juga
sangat baik, karena penduduk setempat tidak begitu padat. Masyarakat pribumi,
di sana bisa menerima komunitas-komunitas Cina tetap berbahasa Cina dan
seterusnya (Berbudaya Cina).
Pada awalnya Pacitan adalah kota kecil
yang dihuni oleh beberapa ribu penduduk saja namun, karena masuknya pendatang
dari Tionghoa yang cukup banyak, maka penduduk bertambah jumlahnya, hampir tiga
persen merupakan penduduk yang
bermigrasi dari Tionghoa[15].
Sejak kedatangan seorang tokoh Cina ini, jumlah migasi dari Cina bertambah,
setiap tahunnya hampir empat puluh orang. Hal ini tentunya perpengaruh pada
kepadatan penduduk. Pertumbuhan penduduk Jawa yang besar berpengaruh terhadap
tingkat kepadatannya.[16]Masyarakat
Cina ini bisa disebut sebagai suatu kesatuan atau kelompok sosial. Menurut B.
Soleman Taneko, kelompok sosial merupakan salah satu perwujudan dari pergaulan
hidup atau kehidupan bersama itu, atau dengan lain perkataan bahwa pergaulan
hidup itu mendapat perwujudannya di dalam kelompok sosial.[17]
Hal ini merupakan proses sosial antar masyarakat atau kelompok. Proses sosial
adalah pengaruh timbal balik, antara, misalnya segi kehidupan ekonomi dengan
segi kehidupan politik, segi kehidupan politik dengan segi kehidupan hukum,
segi kehidupan hukum dengan segi kehidupan ekonomi dan seterusnya.[18]
Dalam hal ini masyarakat Cina disambut dengan baik oleh para pnduduk, yang pada
saat itu Kwee Hing Tjiat tinggal di Desa Arjowinangun wilayah yang padat
penduduk (bagian Pacitan kota). Orang jawa pada umumnya, jika kedatangan tamu
pasti disambut dengan baik. Kwee Hing Tjiat waktu itu tinggal di rumah seorang
warga yang bernama Sakiran, namun tiga hari kemudian Kwee Hing Tjiat
meninggalkan rumah Sakiran untuk meneruskan perjalannya ke Yogyakarta. Satu
tahun kemudian Kwee Hing Tjiat muncul lagi di pacitan, namun tidak sendirian, dia datang besama sekelompok Cina
sekitar dua puluh lima orang.[19]
Pada saat itu pula masyarakat menerima kehadiran orang Cina ini dengan baik,
namun Kwee Hing Tjiat tidak tinggal di rumah Sakiran lagi, melainkan membeli
rumah warga dengan harga yang sangat tinggi, akhirnya dia mendapatkan delapan
rumah untuk dihuni dua puluh lima orang. Dua puluh lima orang
tersebutberwirausaha di bidang penjualan alat-alat seperti besi dan baja.
Pada dasarnya kontak sosial antara orang
Jawa dan Cina sudah berlangsung lama. Interaksi orang-orang Tionghoa dan Jawa
sudah berlangsung berabad-abad yang lalu lewat perdagangan. Pada masa Kerajaan
Majapahit (abad ke-14), para bangsawan kerajaan terbiasa berbelanja
barang-barang mewah yang diimpordari negeri Tiongkok, seperti sutera dan
porselin.[20]Di
pacitang orang Cina melakukan Bisnis perdagangan beras dan kayu jati. Penduduk
pribumi menjual semua hasil panen kepada orang Tionghoa karena mereka membeli
lebih mahal daipada pedagang pribumi yang lainnya. Hingga selang satu tahun Cina
mampu menguasai pasar di wilayah Pacitan dan orang pribumi terpaksa harus
gulung tikar karena usaha dagan mereka tidak laku akibat adanya wirausaha Cina
tersebut. Kemudian orang Cina menjual dagangan tersebut ke Batavia dengan harga
yang jauh lebih tinggi dari harga beli mereka terhadap orang pribumi. Dua tahun
kemudian orang Cina mulai mengurngi harga beli mereka tehadap pribumi, karena
mereka tahu kalau masyarakat pribumi sudah tidak punya lagi pembeli selain
orang-orang Tionghoa ini. Karena pada tujuan awalnyaorang Cina akan menguasai
pasar di wilayah ini. Memang sudah lama orang Cina menguasai perdagangan di
Indonesia. La Ode berpendapat bahwa peguasaan mereka terhadap sumber ekonomi
dan perdagangan di Indonesia pun sudah berlangsung lama, bahkan sejak awal
zaman kolonial belanda.[21]Mereka
menurunkan harga beli mereka hingga lima puluh persen, yang sebelumnya mereka
membeli beras dengan harga seratus ribu rupiah per ton menjadi lima puluh
sampai lima puluh dua ribu per ton. Lambat laun masyarakat pribumi mulai merasa
bahwa pasar mereka telah dipegang orang Cina.Kemudian sejumlah kepala Desa dan
Kepala Dusun di wilayah Arjowinangun melakukan musyawarah dengan masyarakat
untuk membahas tentang usulan dari beberapa masyarakat mengenai ketidaksetujuan
mereka dengan keberadaan orang-orang Cina di wilayah mereka.[22]
Hal yang paling tidak bisa diterima oleh masyarakat yaitu tentang sistem pesar
yaitu, membeli dengan harga yang mahal, setelah tidak ada pembeli lain dia
menurunkan harga serendah-rendahnya. Padahal waktu itu pemerintah tidak menurunkan ataupun menaikkan
harga pasar. Kemudian salah seorang ketua RT mengajukan pendapat untuk mengusir
orang-orang Cina dengan cara kekerasan, namun Kepala Desa kurang setuju dengan
usulan tersebut. Tapi karena lebih dari separuh kepala dusun yang setuju maka,
kepala desa terdesak dan harus mengikuti suara terbanyak. Akhirnya pada tanggal
14 Juni 1914 di kepala desa menetapkan untuk memenuhi keinginan warganya untuk
mengusir orang Cina.[23]
Kemudian keesokan harinya warga mendatangi rumah-rumah Tionghoa dan memaksa
untuk keluar dari wilayah Pacitan. Namun orang-orang Cina tidak langsung
meninggalkan melainkan mengadu kepada R.Adipati Harjo Tjokronegoro, akan tetapi
Adipati sendiri tidak dapat menolong karena banyaknya masa yang setuju untuk
pengusiran orang-orang Cina ini. Kemudian para etnis Cina ini digiring kembali
kerumah mereka karena mereka tidak dapat pertolongan dari bupati, karena secara
pribadi bupati sendiri kurang setuju dengan keberadaan orang-orang Cina di
wilayah Pacitan. Pada dasarnya konflik ini didasari pribumi merasa
tersingkirkan, sedangkan orang Cina menjadi penguasa ekonomi. Menurut Marx
konflik muncul dalam upaya memperoleh akses terhadap kekuatan produksi, apabila
ada kontrol dari masyarakat konflik akan bisa dihapus. Artinya, bila
kapitalisme digantikan dengan sosialisme, kelas-kelas akan terhapus dan
pertentangan kelas akan berhenti.[24]
Kemudian pada hari itu juga orang-orang Cina
meninggalkan pacitan tanpa ada perlawan dari orang-orang Cina dan Pacitan mulai
kembali menata kehidupan pasar dan ekonomi mereka seperti sebelum orang-orang
Cina ini masuk Pacitan. Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat pribumi
mengalami perubahan. Perubahan dalam masyarakat pada prinsipnya merupakan
susatu proses yang terus-menerus, artinya bahwa setiap masyarakat pada
kenyataannya akan mengalami perubahan itu, akan perubahan masyarakat yang satu
dengan masyarakat yang lain tidak selalu sama, ada masyarakat yang mengalaminya
lebih cepat dibandingkan dengan masyarakat yang lainnya.[25]
Sedangkan menurut Taneko Perubahan dalam masyarakat dapat terjadi karena adanya
penggerak-penggerak tertentu. Daya penggerak untuk proses-proses perubahan
dalam suatu masyarakat, datang dari dua sumber dari dalam dan dari luar
disampaikan oleh Raymond firth.[26]
Di sisi lain Nanang martono juga berpendapat bahwa, Tidak
ada masyarakat yang berhenti untuk berubah selama masyarakat tersebut masih
hidup berkelompok.[27]
Dari pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa perubahan sosial terjadi
karena adanyan pengaruh dari dalam dan dari luar selama manusia masih hidup
berkelompok. Seperti dalam makalah ini, perubahan sosial di masyrakat Pacitan
karena adanya pendatang dari Cina yaitu, dari semula masyarakat yang hidup
dalam keterbatasan namun tidak berkekurangan dalam mata pencaharian, namun
setelah adanya orang-orang dari Cina, mereka mengalami tekanan ekonomi, sehingga
mereka melakukan sebuah gerakan sosial. Tujuan gerakan ini adalah untuk
memperoleh kebebasan. Menurut Sartono Kartodirdjo, sebagai aktivitas kolektif,
pergerakan sosial hendak mewujudkan atau sebaliknya, menolak perubahan dari
suatu susunan masyarakat, seringkali dengan radikal dan revolusioner.[28]
[1]Periksa
https://angankeyen.wordpress.com/2010/02/11/sejarah-kota-pacitan/
[2]Lihat PEMERINTAH DAERAH
KABUPATEN PACITAN, Laporan Tahunan PEMDA
PACITAN 1911, (Pacitan; Desa Arjowinangun), hlm. 2
[3] Lihat Abdurachman
Surjomiharjo, Kota Yogyakarta Tempoe
Doeloe: Sejarah Sosial 1880-1930, (Yogyakarta: Komunitas Bambu 2008), halm.
3
[4] Baca I Gde Widja, Sejarah Lokal; Suatu Perspektif dalam
Pengajaran Sejarah, (Bandung: Angkasa 1989), hlm 122. Antara sejarah lokal
dan Nasional sangatlah berhubungan, dengan melakukan penelitian tentang sejarah
lokal, kita tidak hanya memperkaya pembendaharaan sejarah Nasional, tapi lebih
penting lagi memperdalam pengetahuan kita tentang dinamika sosiokultural dari
masyarakat Indonesia yang majemuk ini secara lebih intim. Dengan begini kita
makin menyadari berbagai corak penghadapan manusia dengan lingkungannya dan
dengan sejarahnya serta memperdalam pula kesadaran sejarah kita untuk
mendapatkan makana dari berbagai peristiwa sejarah yang dilalaui (Buku petunjuk
Seminar Sejarah Lokal 1982 : 1-2).
[5]
https://angankeyen.wordpress.com/2010/02/11/sejarah-kota-pacitan/
[6] Baca Wakimo, Babad Pacitan, (Pacitan: Perpustakaan
STKIP PGRI Pacitan Press 2008), hlm. 26.
[8]Periksa Peter Carey, Orang Jawa dan Masyarakat Cina 1755-1825,
(Jakarta: Pustaka Azet, 1986), halm. 15.
[9] Baca Cavin Manzies, 1421 Saat Cina Menemukan Dunia, (Jakarta:
Pustaka Alvabet, 2007), hlm 321. Cina sempat berlabuh di Indonesia, namun Cina
tidak tinggal di Indonesia. Cina hanya berlayar mencari dunia baru untuk
membuat peta dunia yang lebih lengkap daripada peta yang di buat setelah
Christoper Columbus dan lain-lain.
[10]Periksa https://sejarahperniagaan.wordpress.com/2013/02/03/sejarah-masuknya-tionghoa-di-indonesia/
[11] Lihat juga Peter Carey, Orang Cina, Bandar Tol, Candu dan Perang
Jawa; Perubahan Persepsi Tentang Cina 1755-182, (Depok: Komunitas Bambu,
2008), halm. 49.
[12] Baca Leo suryadinata, Tokoh Tionghoa & Identitas Indonesia, (Depok:
Komunitas Bambu, 2010), halm. 76. Kwee Hing Tjiat merupakan salah satu dari 8
tokoh Tionghoa yang paling historis dalam bidang hukum, jurnalistik, sastera
dan keagamaan yang besar artikulasinya dalam menyuarakan nasionalisme
Indonesia. Melalui berbagai cara, lembaga dan keahliannya mereka berkutat
mencari jalan untuk menemukan orientasi dan kedirian antara berkiblat atau
kembali ke Tiongkok, namun akhirnya mereka justru menyuarakan agar orang
Tionghoa menjadi Indonesia.
[13] Baca juga Leo
Suryadinata, Etnis Tionghoa dan
Nasionalisme Indonesia; Sebuah Bunga Rampai 1965-2008, (Jakarta: PT Kompas
Media Nusantara), hlm. 183.
[14] Baca juga Riyadi
Santoso, Seimotika Sosial; Pandangan
Terhadap Bahasa, (Surabaya: Pustaka Eureka, 2003), hlm 18-19.
[15] Lihat PEMERINTAH DAERAH
KABUPATEN PACITAN, Laporan Tahunan PEMDA
PACITAN 1881, (Pacitan; Desa Arjowinangun), hlm. 44.
[16] J van Gelderen, et al.,
Tanah Dan Penduduk Di Indonesia. (Jakarta: Bhratara, 1974), hlm. 20. Dalam satu
sisi jumlah penduduk yang besar memang menguntungkan yaitu untuk tenaga kerja,
untuk perang, tetapi bagi pemerintah Kolonial jumlah penduduk besar menuntut
konsekuensi lain yaitu menyediakan mata pencaharian yang lebih banyak. Sudah
sejak lama pulau Jawa padat penduduknya dan salah satu sebabnya adalah tingkat
kelahiran yang tinggi.
[17] Baca Soleman B. Taneko, Struktur Dan Prose Sosial; Suatu Pengantar
Sosiologi pembangunan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 1993), hlm. 49.
Belum ada keseragaman pandangan mengenai pengertian atau batasan makna tentang
kelompok sosial, dan dengan tidak adanya keseragaman ini menandakan bahwa
kelompok sosial itu mempunyai banyak
aspek
[18]Baca Soleman B. Taneko, Struktur Dan Prose Sosial; Suatu Pengantar
Sosiologi pembangunan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), hlm. 109.
[19] Hasil wawancara Sartono,
warga masyarakat, di Arowinangun, 10 juli 2009
[20] Baca Rustopo, Menjadi Jawa; Orang-orang Tionghoa dan
Kebudayaan Jawa di Surakarta, 1895-1998, (Yogyakarta: Ombak, 2007), hlm. 13
[21] Baca juga M.D La Ode,Etnis Cina Indonesia Dalam Politik; Politik
Etnis Cina Pontianak dan Singkawang di Era Reformasi 1998-2008, (Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia), hlm 317.
[22] Hasil wawancara Sudarmo
dan Hartoyo seorang tokoh masyarakat yang ikut musyawarah pada waktu itu, di Arjowinangun,
tanggal 3 Maret 2009
[23] Wawancara Saryadi
anggota masyarakat yang ikut terlibat, di Arjowinagun, tanggal 4 Januari 2004
[24] Baca juga I. B. Wirawan,
Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma;
Fakta sosial, Definisi Sosial, dan Perilaku Sosial, (Jakarta: PT Kharisma
Putra Utama 2012), hlm. 67.
[25]Baca Soleman B. Taneko, Struktur Dan Prose Sosial; Suatu Pengantar
Sosiologi pembangunan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), hlm. 133.
[27]Baca juga Nanang Martono, SOSIOLOGI PERUBAHAN SOSIAL; Perspektif
Klasik, Modern, Postmodern dan Poskolonial, (Jakarta: rajawali pers 2011),
hlm 301. Pembahasan mengenai isu perubahan sosial ini meliputi masalah proses,
bentuk-bentuk perubahan sosial, dan yang paling penting adalah masalah dampak
atau konsekuensi perubahan sosial bagi individu atau masyarakat, serta dunia.
[28] Baca Sartono Kartodirdjo
dkk, Sejarah Sosial; Konseptualisasi,
model dan Tantangannya, (Yogyakarta: Ombak 2013), hlm. 60.
Subscribe to:
Posts (Atom)