Friday, January 27, 2017

Google Map Does Not Use A Satellites

For smartphone users certainly never use Google Maps. With the ability to be improved, made by Google's mapping application that can display the location information in detail. But you know how Google can get the data complete as that?

Google Maps should be recognized is a mapping application that has a fairly complete navigation features, and can display images with accurate location details. Even companies such as Apple still has not been able to match the power of Google Maps.

To be able to present it all, of course, Google had to work hard to get those data. And certainly, this service requires the input of data that is very, very much to be able to display data that is accurate and detailed.

Google rely on multiple sources of data to be able to run Google Maps. As of Street View cars, imaging of the tower B.T.S, government data, and input from a wide range of users from around the world.

After obtaining all the data, Google then set it by using a tool of their creation, called Atlas. This tool is very dirahasikan Google, and should only be used internally.

However, in the event Google I / O 2013 last May, Google kindly to uncover a little 'secret kitchen' them, by showing the process of making Google Maps.

In the 40-minute video that was recorded during the event for developers conference, Google explained how the data processing using the Atlas, until you can see the end result as in Google Maps.

In fact, Google Map does not use satellites as it is known to many people, because with 8 towers pliers spread across all continents proved equally effective for imaging support my location.

In addition, Google Maps also uses drones to project your roof to a map. The following is a picture that often operated drone google:

Sunday, January 22, 2017

Thursday, October 6, 2016

LIRIK TAKDIR - Ian Antono AA

*
orang bilang kau nekad
orang bilang kau jahat
karena milik sesama
kau sikat tanpa sisa

**
orang bilang kau salah
orang bilang kau dosa
namun engkau abaikan
seolah kau tak mendengar

tak kenal kata salah
tak kenal kata dosa

***
gejolak jiwa
datang kapan saja
Pada siapa saja
sering tak terduga

jalani hidup
mesti segalanya
tak seindah mimpi
yang menghias tidurmu

pesona dunia
tinggalkan luka
karena tak kuasa
menggapainya

yakinlah takdir
tak mudah dihindari

walau harus terhina
walau harus tercela

walau bertaruh nyawa
INTRO...
BACK TO: **,***




Untuk mp3 nya waiting ya...😁😁😆😆😅

Wednesday, July 13, 2016

SURAT PERSETUJUAN PERATURAN KOST

SURAT PERSETUJUAN PERATURAN KOST “ITA-ITU”
Jl. Walanda Maramis, RT 02 / RW 23 Mbibis Baru
Nusukan, Banjarsari, Surakarta
 



Untuk menjaga stabilitas keamanan dan keharmonisan antara masyarakat dengan Kost “Ita-Itu”, diadakan peraturan antara lain sebagai berikut:
1.      Mempunyai Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku dan menyerahkan foto copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) 1 lembar per orang kepada pengelola Kos.
2.      Jumlah anggota maksimal dalam tiap kamar adalah 1 orang.
3.      Mampu menjaga keharmonisan hubungan antar penghuni kost dan masyarakat. Tidak diperkenankan saling mengganggu sesama penghuni kamar, seperti menyalakan radio/tape/pesawat TV terlalu keras, membuat kebisingan (berteriak atau besuara keras pada malam hari) dan kegaduhan.
4.      Mampu menjaga keutuhan kamar kost (tidak diperkenankan membuat perubahan kamar tanpa seijin pengelola termasuk  mencoret-coret tembok), serta ikut menjaga keamanan, kebersihan dan kenyamanan rumah kost.
5.      Tidak menyimpan senjata api/bahan peledak dan tidak menyimpan/mengkonsumsi narkoba & minuman keras.
6.      Dilarang melakukan perbuatan yg melanggar hukum (perjudian, dsb) dan norma-norma kesusilaan.
7.      Dilarang membuang pembalut wanita dan sisa makanan kedalam toilet agar tidak buntu.
8.      Dilarang membawa atau memelihara hewan seperti anjing, kucing, ayam, hamster, ular dsb.  Serta membakar ikan yang asap dan baunya dapat mengganggu penghuni lainnya dilingkungan rumah kost.
9.      Menerima tamu lawan jenis pada malam hari maksimal sampai jam 22.00 WIB (untuk menjaga ketenangan rumah kost). Tamu penghuni kost yang menginap satu malam atau lebih, harap segera melaporkannya ke pengelola kost.
10.  Pembayaran uang sewa kost harus dilakukan tepat waktu. Keterlambatan pembayaran uang kost tanpa pemberitahuan sebelumnya dan tidak mematuhi tata tertib, diartikan bahwa penghuni kost telah memutuskan untuk keluar/pindah kost.
Surakarta, 28 April 2016
 
tertanda

pengelola Kost Ita-Itu



Suwarti

 
 



Monday, September 21, 2015

“PERADABAN ETNIS CINA DI PACITAN” (Sejarah Sosial 1910-1915)



BAB I
PENDAHULUAN


A.       Latar belakang
Sebagian orang berpendapat asal nama Kabupaten Pacitan berasal dari kata Pacitan yang berarti camilan, sedap-sedapan, tambul, yaitu makanan kecil yang tidak sampai mengenyangkan. Hal ini disebabkan daerah Pacitan merupakan daerah minus, sehingga untuk memenuhi kebutuhan pangan warganya tidak sampai mengenyangkan; tidak cukup (pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645) nama tersebut telah muncul dalam babat Momana).[1]Secara geografis Kabupaten Pacitan terletak di Pantai Selatan Pulau Jawa dan berbatasan dengan Propinsi Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta merupakan pintu gerbang bagian barat dari Jawa Timur dengan kondisi fisik pegunungan kapur selatan yang membujur dari gunung kidul ke Kabupaten Trenggalek menghadap ke Samudera Indonesia.
Kabupaten Pacitan mempunyai luas wilayah 1.389,87 Km2 atau 138.987,16 Ha yang kondisi alamnya sebagian besar terdiri dari bukit-bukit yang mengelilingi kabupaten. Sedangkan wilayah kota Pacitan yang merupakan inti atau pusat pemerintahan berupa dataran rendah.[2] Selebihnya berupa daerah pantai yang memanjang dari sebelah barat sampai timur di bagian selatan. Pacitan adalah kecamatan yang menjadi ibukota Kabupaten Pacitan, provinsi Jawa Timur, Indonesia. Kota Pacitan adalah denyut nadi pemerintahan dan perekonomian kabupaten pacitan secara keseluruhan. Lansekap kota Pacitan terletak di lembah, di tepi Teluk Pacitan dan dialiri sungai Grindulu yang membentang dari wilayah selatan menuju pantai Teleng Ria. Pacitan merupakan kota penghubung antara Surabaya dan Yogyakarta yang melalui jalur alternatif yang lebih dekat daripada melewati rute Wonogiri ataupun Solo. Sebagai jalur lintas yang kecil, namun banyak sekali yang melewati wilayah pacitan menuju Yogyakarta. Kota kecil ini memiliki bebagai macam penduduk, antara lain dari wilayah Kalimantan, Sulawesi, Papua, bahkan yang tak ketinggalan pendatang dari mancanegara, yaitu orang-orang dari negeri Cina. Namun pada makalah ini hanya membahas tentang peradaban masyarakat Cina saja yang pada ssat itu berdomisili di Pacitan. Penulismengambil kurun waktu antara tahun 1910-1915 karena pada saat itulah terjadi peristiwa yang sangat menarik dari kedua penduduk antara masyarakat pribumi dengan Cina.Dalam proses ini terjadi kontak kultural antara masyarakat pribumi dengan Cina.
Makalah ini merupakan sejarah sosial, namun konsep sejarah sosial sendiri sukar untuk dirumuskan dan tidak akan pernah dicapai hasil akhirmengenai perumusannya secara tepat [3]. Dalam makalah ini kategori kedua tentang sejarah lokal, yaitu sejarah kelompok penduduk. yang mempelajari tentang proses penyesuaian beberapa kelompok penduduk pribumi dengan Cina. Sejarah lokal merupakan studi tentang kehgidupan masyarakat atau khususnya komunitas dari suatu lingkungan sekitar (neighborhood) tertentu dalam dinamika perkembangan dalam berbagai aspek kehidupan namun, sejarah lokal juga memiliki hubungan dengan sejarah nasional.[4]Dalam makalah ini perhatian utama ditujukan pada pergerakan sosial masyarakat pribumi. Dimana masyarakat pribumi melakukan gerakan yang menentang adanya masyarakat Cina di wilayah Pacitan. Hal ini terjadi pada masa kolonialis, namun bangsa belanda pada waktu itu tidak begitu banyak yang memasuki wilayah Pacitan, hanya berapa orang saja yang melewati jalur menuju madiun karena Belanda menilai Pacitan tidak memiliki banyak sumber daya yang bisa dimanfaatkan untuk keperluan mereka.

B.       Rumusan masalah
1.      Bagaimanakah awal masuknya orang Cina di Pacitan?
2.      Bagaimanakah tanggapan orang pribumi terhadap masuknya masyarakat Cina di Pacitan?
3.      Bagaimanakah peradaban masyarakat Cina di Pacitan?

BAB II
PEMBAHASAN



A.      Masuknya orang Cina di Pacitan

Kota Pacitan adalah sebuah kota yang berada di pulau jawa. Pacitan adalah sebuah kota yang berada di karesidenan madiun pada abad ke XV di pacitan telah berkembang agama hindu dan Budha yang berkiblat kepada Kerajaaan Majapahit yang dipimpin oleh ki ageng buwono keling yang bertempat tinggal di Jati Kecamatan Kebonagung (Drs. Ronggosaputro;1980).[5]Dan ketika dalam perang gerilya 1747-1749 (Perang Palihan Nagari 1746-1755)melawan VOC Belanda, Pangeran Mangkubumi mengalami kekalahan, beliau disertai 12 orang pengikutnya terus mundur keselatan sambil mencari dukungan orang sakti untuk membantu perjuangan. Tanggal 25 Desember 1749 rombongan tersebut lemah lunglai, dan atas bantuan setroketipo beliau diberi sebuah minuman yaitu buah pace yang telah direndam dengan legen buah kelapa, dan seketika itu juga kekuatan Pangeran Mangkubumi pulih kembali. Daerah itu diingat dengan pace sapengetan dan dalam pembicaraan keseharian sering disingkat dengan pace-tan lalu menjadilah sebuah nama kabupaten Pacitan. Setelah Pangeran Mangkubumi menjadi Hamenku Buwono I, beliau memenuhi janjinya kepada para pengikutnya yang ketika itu ikut bergerilya. Setroketipo diangkat menjadi Bupati Pacitan ke-2 setelah sebelumnya dijabat oleh Raden Ngabehi Tumenggung Notoprojo.  Raden Ngabehi Tumenggung Notoprojo sebelumnya diangkat juga oleh  Pangeran Mangkubumi pada tanggal 17 Januari 1750 setelah beliau banyak membantu Pangeran Mangkubumi ketika bergerilya didaerah pacitan. Ketika itu Ngabehi Suromarto menjabat demang Nanggungan dan ketika diangkat bupati bergelar Raden Ngabehi Tumenggung Notoprojo[6]. Slanjutnya padahub 1906 pemerintahan di pimpin oleh R.Adipati Harjo Tjokronegoro I (R.T. Cokrohadijoyo).[7]Kemudian pada sekitar tahun 1909 ada seorang yang bermigrasi dari negeri Cina yang bernama Kwee Hing Tjiat. Pada masa ini Pacitan dipimpin oleh Tumenggung R.Adipati Martohadinegoro (Raden Mas Cokrodipuro). Beliau termasuk keturunan Raden Ngabehi Tumenggung Notoprojo.Menurut Carey, masyarakat Tionghoa di Jawa sudah datang jauh sebelum Belanda datang ke Indonesia.[8]Mereka menemukan Indonesia sekitar tahun 1421 dalam pelayaraannya menjelajah dunia, namun Cina berlabuh di Indonesia hanya mencari temuan daratan atau pulau.[9]Akan tetapi, segala sesuatu tentang masyarakat Cina di Indonesia khususnya di Jawa dan juga di beberapa daerah lain yang kita kenal sekarang ini, bentuk perilaku dan seterusnya, berasal dari zaman kolonial, dari zaman Hindia Belanda. Kedua bangsa tersebut (Cina dan Belanda) sebenarnya datang ke Indonesia sama-sama untuk berniaga. Belanda dalam bentuk VOC datang untuk melakukan perniagaan, dan orang-orang Cina datang ke Indonesia juga untuk melakukan perniagaan.Sebenarnya keduanya berasal dari suatu peradaban yang kira-kira sama. Baik Belanda maupun Cina datang dari latar belakang kota yang dikelilingi “dinding”. Pertanyaan ini memang aneh kedengarannya, namun itulah realitanya. Karena berbagi hal dan insiden, sejak permulaan, orang-orang Cina ini menjadi mitra niaga Belanda.
Pada awalnya, Belanda datang ke Indonesia tidak secara besar-besaran. Oleh karena itu, kekuatan asing itu selalu memerlukan mitra-mitra niaga. Cina menjadi mitra niaga Belanda, khususnya di bidang distribusi, tidak di bidang perniagaan perantara. Itulah sebabnya orang-orang Cina menguasai perniagaan perantara. Dari kegiatannya mendistribusikan barang-barang dari kota ke penduduk-penduduk pribumi di desa, orang Cina mendapat uang tembaga dari orang-orang di desa, yaitu uang kecil yang biasa untuk membeli barang-barang di desa. Kemudian mereka menjualnya ke VOC di kota. inilah yang mempererat hubungan orang-orang Cina dengan orang-orang Belanda[10].Selain itu, bahwa yang harus diingat kalau kita bicara mengenai orang Cina adalah bahwa orang Cina ini bukan suatu golongan yang homogen atau sama semuanya.
Golongan Cina sudah sejak lama dimamfaatkan sebagai “perantara” sekaligus “mesin pencetak uang” baik oleh raja-raja maupun oleh penguasa kolonial di Indonesia. Sebelum masuknya kolonial pun, orang Cina sudah menjadi bagian penting di dalam kerajaan-kerajaan Jawa. Sejak abad-abad awal Masehi sudah terdapat hubungan perdagangan antara negeri Cina dan Jawa. Bahkan di abad ke-14, pada masa puncak kejayaan Kerajaan Majapahit di Jawa timur, orang Jawa dari golongan atas telah terbiasa dengan barang-barang mewah yang diimpor dari Cina seperti sutera, porselen dan sampan (pernis). Selain itu, bangsa Cina pun telah melangsungkan sejumlah perkawinan dengan penduduk setempat dan kebanyakan orang-orang Cina yang melakukan perkawinan yang demikian akhirnya memeluk agama Islam. Orang Cina pada abad-abad selanjutnya terus memainkan peranan yang amat penting di dalam kehidupan ekonomi dan sosial di pedalaman kerajaan-kerajaan Jawa. Misalnya di kerajaan Mataram pada abad 17, orang Cina berhasil menguasai posisi kunci perdagangan ekspor beras dan kayu jati, yang kemudian kerajaan Mataram mempergunakan orang-orang Cina ini dalam memperoleh kekuasaan yang kuat dengan menjadikan mereka sebagai dalal beras untuk mengatur penjualan ekspornya di Batavia. Namun situasi seperti ini berbalik total karena keterlibatan orang Cina dalam persoalan ekonomi sehari-hari rakyat Jawa seperti penarikan pajak gerbang tol dan penjualan candu. Mereka dituduh sebagai kambing hitam atas kemiskinan rakyat. Ditambah dengan peristiwa-peristiwa berdarah yang terjadi membuat trauma pada orang-orang Cina, sehingga suatu perasaan kecurigaan yang mendalam tentang maksud dan tujuan-tujuan orang-orang jawa merupakan warisan yang kekal dari periode ini.[11]
Sesungguhnya, baik VOC maupun para penguasa Jawa membutuhkan orang-orang Cina dalam kegiatan yang mereka lakukan di bidang perdagangan, yang tercermin dalam kedudukan administrasi dan hukum istimewa yang diberikan kepada mereka. Kedudukan administrasi disini ditunjuk sebagai syahbandar (mandor tol dan bea cukai) khusus untuk komunitas pedagang Cina dan hukum istimewa disini tercermin pada hukum tradisional orang Jawa yang menetapkan bahwa denda yang dijatuhkan atas pembunuhan orang Cina haruslah dua kali lebih besar dibandingkan membunuh satu orang Jawa. Berawal dari itu maka seorang tokoh dari cina yang hendak melakukan perniagaan ke daerah Yogyakarta berhenti di kota Pacitan, tokoh tersebut adalah Kwee Hing Tjiat, beliau merupakan salah satu dari 8 tokoh Tionghoa yang paling historis dalam bidang hukum, jurnalistik, sastera dan keagamaan yang besar artikulasinya dalam menyuarakan nasionalisme Indonesia.[12]Selain itu, Kwee Hing Tjiat juga dikenal sebagai seorang nasionalis Cina dan tokoh asimilasi.Kwee Hing Tjiat merupakan peranakan Cina yang yang telah lama menetap di indonesia. Peranakan adalah orang Cina yang sudah lama tinggal di Indonesia dan sudah “terbaur”. Mereka berbahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari dan bertingkahlaku seperti pribumi.[13] Awalnya, Kwee Hing Tjiat ingin melakukan kegiatan perniagaan menuju ke Yogyakarta, namun dia tertarik untuk tinggal dan menetap di Pacitan. Alasan utamanya tidak begitu jelas namun, menurut beberapa sumber yang mengatakan bahwa Kwee Hing Tjiat tinggal di Pacitan dengan satu tujuan yaitu menguasai perdagangan. Seagaimana layaknya masyarakat jawa jika memiliki tamu, terlebih tamu dari mancanegara, pasti akan di sambut dengan amat baik.

B.       Proses interaksi masyarakat pribumi dangan orang Cina

Ada berbagai pengaruh dari pola imigrasi. Umpamanya Cina berimigrasi ke Pulau Jawa, Cinanya datang secara perorangan atau dalam kelompok-kelompok kecil. Oleh karena itu, interaksi dengan penduduk yang padat sekali, sedikit banyak terintegrasi di dalam masyarakat. Di Jawa, orang Cina biasanya tidak merasa Cina. Mereka kehilangan bahasa setelah satu dua generasi, seperti orang Jawa yang di Jakarta yang juga kehilangan bahasa Jawanya setelah satu dua generasi.Pada hakekatnya bahasa mempunyai fungsi sosial yang oleh halliday dinamakan “metafungsi”.[14]Makna fungsi itu sendiri kurang lebih sama dengan pengertian penggunaan. Jadi fungsi bahasa didalam masyarakat sama dengan bagaimana masyarakat mengerjakan aktivitasnya sama dengan menggunakan bahasa. Apa yang mereka inginkan dengan berbicara, menulis, mendengarkan atau membaca; apa yang mereka harapkan dari orang lain dengan dengan menggunakan bahasa tersebut. Jadi dapat disimpulkan bahwa bahasa sangat sangat besar pengaruhnya bagi interaksi antar manusia.
Fenomena Jawa tersebut sangat biasa kita jumpai saat ini, biasanya orang Jawa akan menyebutnya “Jowo tapi ora Jawani”. Biarpun kedua orang tuanya Jawa. Jadi, lingkungan ikut menentukan Di Sumatra Utara, misalnya di sekitar Medan, etnis Cina didatangkan per-komunitas seperti bedol desa dari Cina, dari kelompok-kelompok yang besar interaksi mereka dengan penduduk setempat juga sangat baik, karena penduduk setempat tidak begitu padat. Masyarakat pribumi, di sana bisa menerima komunitas-komunitas Cina tetap berbahasa Cina dan seterusnya (Berbudaya Cina).
Pada awalnya Pacitan adalah kota kecil yang dihuni oleh beberapa ribu penduduk saja namun, karena masuknya pendatang dari Tionghoa yang cukup banyak, maka penduduk bertambah jumlahnya, hampir tiga persen merupakan  penduduk yang bermigrasi dari Tionghoa[15]. Sejak kedatangan seorang tokoh Cina ini, jumlah migasi dari Cina bertambah, setiap tahunnya hampir empat puluh orang. Hal ini tentunya perpengaruh pada kepadatan penduduk. Pertumbuhan penduduk Jawa yang besar berpengaruh terhadap tingkat kepadatannya.[16]Masyarakat Cina ini bisa disebut sebagai suatu kesatuan atau kelompok sosial. Menurut B. Soleman Taneko, kelompok sosial merupakan salah satu perwujudan dari pergaulan hidup atau kehidupan bersama itu, atau dengan lain perkataan bahwa pergaulan hidup itu mendapat perwujudannya di dalam kelompok sosial.[17] Hal ini merupakan proses sosial antar masyarakat atau kelompok. Proses sosial adalah pengaruh timbal balik, antara, misalnya segi kehidupan ekonomi dengan segi kehidupan politik, segi kehidupan politik dengan segi kehidupan hukum, segi kehidupan hukum dengan segi kehidupan ekonomi dan seterusnya.[18] Dalam hal ini masyarakat Cina disambut dengan baik oleh para pnduduk, yang pada saat itu Kwee Hing Tjiat tinggal di Desa Arjowinangun wilayah yang padat penduduk (bagian Pacitan kota). Orang jawa pada umumnya, jika kedatangan tamu pasti disambut dengan baik. Kwee Hing Tjiat waktu itu tinggal di rumah seorang warga yang bernama Sakiran, namun tiga hari kemudian Kwee Hing Tjiat meninggalkan rumah Sakiran untuk meneruskan perjalannya ke Yogyakarta. Satu tahun kemudian Kwee Hing Tjiat muncul lagi di pacitan, namun tidak  sendirian, dia datang besama sekelompok Cina sekitar dua puluh lima orang.[19] Pada saat itu pula masyarakat menerima kehadiran orang Cina ini dengan baik, namun Kwee Hing Tjiat tidak tinggal di rumah Sakiran lagi, melainkan membeli rumah warga dengan harga yang sangat tinggi, akhirnya dia mendapatkan delapan rumah untuk dihuni dua puluh lima orang. Dua puluh lima orang tersebutberwirausaha di bidang penjualan alat-alat seperti besi dan baja.

C.       Munculnya gerakan sosial masyarakat pribumi
Pada dasarnya kontak sosial antara orang Jawa dan Cina sudah berlangsung lama. Interaksi orang-orang Tionghoa dan Jawa sudah berlangsung berabad-abad yang lalu lewat perdagangan. Pada masa Kerajaan Majapahit (abad ke-14), para bangsawan kerajaan terbiasa berbelanja barang-barang mewah yang diimpordari negeri Tiongkok, seperti sutera dan porselin.[20]Di pacitang orang Cina melakukan Bisnis perdagangan beras dan kayu jati. Penduduk pribumi menjual semua hasil panen kepada orang Tionghoa karena mereka membeli lebih mahal daipada pedagang pribumi yang lainnya. Hingga selang satu tahun Cina mampu menguasai pasar di wilayah Pacitan dan orang pribumi terpaksa harus gulung tikar karena usaha dagan mereka tidak laku akibat adanya wirausaha Cina tersebut. Kemudian orang Cina menjual dagangan tersebut ke Batavia dengan harga yang jauh lebih tinggi dari harga beli mereka terhadap orang pribumi. Dua tahun kemudian orang Cina mulai mengurngi harga beli mereka tehadap pribumi, karena mereka tahu kalau masyarakat pribumi sudah tidak punya lagi pembeli selain orang-orang Tionghoa ini. Karena pada tujuan awalnyaorang Cina akan menguasai pasar di wilayah ini. Memang sudah lama orang Cina menguasai perdagangan di Indonesia. La Ode berpendapat bahwa peguasaan mereka terhadap sumber ekonomi dan perdagangan di Indonesia pun sudah berlangsung lama, bahkan sejak awal zaman kolonial belanda.[21]Mereka menurunkan harga beli mereka hingga lima puluh persen, yang sebelumnya mereka membeli beras dengan harga seratus ribu rupiah per ton menjadi lima puluh sampai lima puluh dua ribu per ton. Lambat laun masyarakat pribumi mulai merasa bahwa pasar mereka telah dipegang orang Cina.Kemudian sejumlah kepala Desa dan Kepala Dusun di wilayah Arjowinangun melakukan musyawarah dengan masyarakat untuk membahas tentang usulan dari beberapa masyarakat mengenai ketidaksetujuan mereka dengan keberadaan orang-orang Cina di wilayah mereka.[22] Hal yang paling tidak bisa diterima oleh masyarakat yaitu tentang sistem pesar yaitu, membeli dengan harga yang mahal, setelah tidak ada pembeli lain dia menurunkan harga serendah-rendahnya. Padahal waktu itu  pemerintah tidak menurunkan ataupun menaikkan harga pasar. Kemudian salah seorang ketua RT mengajukan pendapat untuk mengusir orang-orang Cina dengan cara kekerasan, namun Kepala Desa kurang setuju dengan usulan tersebut. Tapi karena lebih dari separuh kepala dusun yang setuju maka, kepala desa terdesak dan harus mengikuti suara terbanyak. Akhirnya pada tanggal 14 Juni 1914 di kepala desa menetapkan untuk memenuhi keinginan warganya untuk mengusir orang Cina.[23] Kemudian keesokan harinya warga mendatangi rumah-rumah Tionghoa dan memaksa untuk keluar dari wilayah Pacitan. Namun orang-orang Cina tidak langsung meninggalkan melainkan mengadu kepada R.Adipati Harjo Tjokronegoro, akan tetapi Adipati sendiri tidak dapat menolong karena banyaknya masa yang setuju untuk pengusiran orang-orang Cina ini. Kemudian para etnis Cina ini digiring kembali kerumah mereka karena mereka tidak dapat pertolongan dari bupati, karena secara pribadi bupati sendiri kurang setuju dengan keberadaan orang-orang Cina di wilayah Pacitan. Pada dasarnya konflik ini didasari pribumi merasa tersingkirkan, sedangkan orang Cina menjadi penguasa ekonomi. Menurut Marx konflik muncul dalam upaya memperoleh akses terhadap kekuatan produksi, apabila ada kontrol dari masyarakat konflik akan bisa dihapus. Artinya, bila kapitalisme digantikan dengan sosialisme, kelas-kelas akan terhapus dan pertentangan kelas akan berhenti.[24]
Kemudian pada hari itu juga orang-orang Cina meninggalkan pacitan tanpa ada perlawan dari orang-orang Cina dan Pacitan mulai kembali menata kehidupan pasar dan ekonomi mereka seperti sebelum orang-orang Cina ini masuk Pacitan. Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat pribumi mengalami perubahan. Perubahan dalam masyarakat pada prinsipnya merupakan susatu proses yang terus-menerus, artinya bahwa setiap masyarakat pada kenyataannya akan mengalami perubahan itu, akan perubahan masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain tidak selalu sama, ada masyarakat yang mengalaminya lebih cepat dibandingkan dengan masyarakat yang lainnya.[25] Sedangkan menurut Taneko Perubahan dalam masyarakat dapat terjadi karena adanya penggerak-penggerak tertentu. Daya penggerak untuk proses-proses perubahan dalam suatu masyarakat, datang dari dua sumber dari dalam dan dari luar disampaikan oleh Raymond firth.[26] Di sisi lain Nanang martono juga berpendapat bahwa, Tidak ada masyarakat yang berhenti untuk berubah selama masyarakat tersebut masih hidup berkelompok.[27] Dari pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa perubahan sosial terjadi karena adanyan pengaruh dari dalam dan dari luar selama manusia masih hidup berkelompok. Seperti dalam makalah ini, perubahan sosial di masyrakat Pacitan karena adanya pendatang dari Cina yaitu, dari semula masyarakat yang hidup dalam keterbatasan namun tidak berkekurangan dalam mata pencaharian, namun setelah adanya orang-orang dari Cina, mereka mengalami tekanan ekonomi, sehingga mereka melakukan sebuah gerakan sosial. Tujuan gerakan ini adalah untuk memperoleh kebebasan. Menurut Sartono Kartodirdjo, sebagai aktivitas kolektif, pergerakan sosial hendak mewujudkan atau sebaliknya, menolak perubahan dari suatu susunan masyarakat, seringkali dengan radikal dan revolusioner.[28]


[1]Periksa https://angankeyen.wordpress.com/2010/02/11/sejarah-kota-pacitan/
[2]Lihat PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN PACITAN, Laporan Tahunan PEMDA PACITAN 1911, (Pacitan; Desa Arjowinangun), hlm. 2
[3] Lihat Abdurachman Surjomiharjo, Kota Yogyakarta Tempoe Doeloe: Sejarah Sosial 1880-1930, (Yogyakarta: Komunitas Bambu 2008), halm. 3
[4] Baca I Gde Widja, Sejarah Lokal; Suatu Perspektif dalam Pengajaran Sejarah, (Bandung: Angkasa 1989), hlm 122. Antara sejarah lokal dan Nasional sangatlah berhubungan, dengan melakukan penelitian tentang sejarah lokal, kita tidak hanya memperkaya pembendaharaan sejarah Nasional, tapi lebih penting lagi memperdalam pengetahuan kita tentang dinamika sosiokultural dari masyarakat Indonesia yang majemuk ini secara lebih intim. Dengan begini kita makin menyadari berbagai corak penghadapan manusia dengan lingkungannya dan dengan sejarahnya serta memperdalam pula kesadaran sejarah kita untuk mendapatkan makana dari berbagai peristiwa sejarah yang dilalaui (Buku petunjuk Seminar Sejarah Lokal 1982 : 1-2).
[5] https://angankeyen.wordpress.com/2010/02/11/sejarah-kota-pacitan/
[6] Baca Wakimo, Babad Pacitan, (Pacitan: Perpustakaan STKIP PGRI Pacitan Press 2008), hlm. 26.
[7]Ibid,hlm. 37
[8]Periksa Peter Carey, Orang Jawa dan Masyarakat Cina 1755-1825, (Jakarta: Pustaka Azet, 1986), halm. 15.
[9] Baca Cavin Manzies, 1421 Saat Cina Menemukan Dunia, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2007), hlm 321. Cina sempat berlabuh di Indonesia, namun Cina tidak tinggal di Indonesia. Cina hanya berlayar mencari dunia baru untuk membuat peta dunia yang lebih lengkap daripada peta yang di buat setelah Christoper Columbus dan lain-lain.
[10]Periksa https://sejarahperniagaan.wordpress.com/2013/02/03/sejarah-masuknya-tionghoa-di-indonesia/
[11] Lihat juga Peter Carey, Orang Cina, Bandar Tol, Candu dan Perang Jawa; Perubahan Persepsi Tentang Cina 1755-182, (Depok: Komunitas Bambu, 2008), halm. 49.
[12] Baca Leo suryadinata, Tokoh Tionghoa & Identitas Indonesia, (Depok: Komunitas Bambu, 2010), halm. 76. Kwee Hing Tjiat merupakan salah satu dari 8 tokoh Tionghoa yang paling historis dalam bidang hukum, jurnalistik, sastera dan keagamaan yang besar artikulasinya dalam menyuarakan nasionalisme Indonesia. Melalui berbagai cara, lembaga dan keahliannya mereka berkutat mencari jalan untuk menemukan orientasi dan kedirian antara berkiblat atau kembali ke Tiongkok, namun akhirnya mereka justru menyuarakan agar orang Tionghoa menjadi Indonesia.
[13] Baca juga Leo Suryadinata, Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia; Sebuah Bunga Rampai 1965-2008, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara), hlm. 183.
[14] Baca juga Riyadi Santoso, Seimotika Sosial; Pandangan Terhadap Bahasa, (Surabaya: Pustaka Eureka, 2003), hlm 18-19.
[15] Lihat PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN PACITAN, Laporan Tahunan PEMDA PACITAN 1881, (Pacitan; Desa Arjowinangun), hlm. 44.
[16] J van Gelderen, et al., Tanah Dan Penduduk Di Indonesia. (Jakarta: Bhratara, 1974), hlm. 20. Dalam satu sisi jumlah penduduk yang besar memang menguntungkan yaitu untuk tenaga kerja, untuk perang, tetapi bagi pemerintah Kolonial jumlah penduduk besar menuntut konsekuensi lain yaitu menyediakan mata pencaharian yang lebih banyak. Sudah sejak lama pulau Jawa padat penduduknya dan salah satu sebabnya adalah tingkat kelahiran yang tinggi.
[17] Baca Soleman B. Taneko, Struktur Dan Prose Sosial; Suatu Pengantar Sosiologi pembangunan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 1993), hlm. 49. Belum ada keseragaman pandangan mengenai pengertian atau batasan makna tentang kelompok sosial, dan dengan tidak adanya keseragaman ini menandakan bahwa kelompok sosial itu  mempunyai banyak aspek
[18]Baca Soleman B. Taneko, Struktur Dan Prose Sosial; Suatu Pengantar Sosiologi pembangunan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), hlm. 109.
[19] Hasil wawancara Sartono, warga masyarakat, di Arowinangun, 10 juli 2009
[20] Baca Rustopo, Menjadi Jawa; Orang-orang Tionghoa dan Kebudayaan Jawa di Surakarta, 1895-1998, (Yogyakarta: Ombak, 2007), hlm. 13
[21] Baca juga M.D La Ode,Etnis Cina Indonesia Dalam Politik; Politik Etnis Cina Pontianak dan Singkawang di Era Reformasi 1998-2008, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia), hlm 317.
[22] Hasil wawancara Sudarmo dan Hartoyo seorang tokoh masyarakat yang ikut musyawarah pada waktu itu, di Arjowinangun, tanggal 3 Maret 2009
[23] Wawancara Saryadi anggota masyarakat yang ikut terlibat, di Arjowinagun, tanggal 4 Januari 2004
[24] Baca juga I. B. Wirawan, Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma; Fakta sosial, Definisi Sosial, dan Perilaku Sosial, (Jakarta: PT Kharisma Putra Utama 2012), hlm. 67.
[25]Baca Soleman B. Taneko, Struktur Dan Prose Sosial; Suatu Pengantar Sosiologi pembangunan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), hlm. 133.
[26]Ibid, hlm. 135.
[27]Baca juga Nanang Martono, SOSIOLOGI PERUBAHAN SOSIAL; Perspektif Klasik, Modern, Postmodern dan Poskolonial, (Jakarta: rajawali pers 2011), hlm 301. Pembahasan mengenai isu perubahan sosial ini meliputi masalah proses, bentuk-bentuk perubahan sosial, dan yang paling penting adalah masalah dampak atau konsekuensi perubahan sosial bagi individu atau masyarakat, serta dunia.
[28] Baca Sartono Kartodirdjo dkk, Sejarah Sosial; Konseptualisasi, model dan Tantangannya, (Yogyakarta: Ombak 2013), hlm. 60.